Alkisah suatu senja di penghujung tahun 2001. Seorang perempuan muda, mahasiswi semester 4 di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta, merinci sejarah pilunya kepada Reika, sahabatnya. (Kelak dari Reika-lah saya mendapatkan cerita kecil ini). Shafa, nama perempuan itu. Berbusana muslimah, berparas jamilah nan jelita.
Kepada Reika, ia datang dengan mata sembab, jejak menangis semalaman suntuk Tak ada pupur bedak yang memoles pipinya. Tak ada celak yang menghias matanya. Jilbab di kepalanya pun melekat sembarang letak. Sebuah kebiasaan yang, menurut Reika, sangat tak lazim untuk seorang Shafa illam taghfir minal khasirin.” gadis yang energik, cerdas dan rapi jali. Pun dengan badannya yang menyusut drastis.
“Masya Allah! Kamu kenapa, Fa? Kamu sakit?” Tanya Reika heran ketika ia bersua dengan Shafa di sebuah cafe di bilangan Pondok lndah, Jakarta. “Yah, aku sakit Rei…. sakit fisik….sakit jiwa…a..ku…” tutur Shafa lirih dengan bibir bergetar-getar dan air mata berderai-derai Kala itu, kisah Reika, Shafa benar-benar membutuhkan support seorang sahabat yang dapat membesarkan hatinya, mengembalikan spirit hidupnya kembali.
la mengaku telah melepaskan kegadisannya bersama si Fulan (katakan lah namanya demikian) sejak lima bulan lalu. Semula Shafa menolak dengan tegas. Namun, setelah sekian lama berdiskusi, bertukar tangkap rasa dan logika, serta saling anjangsana satu sama lainnya, terjadilah adegan klise yang mungkin Anda sudah tebak: sang wanita mengalah, mahkota virginitas yang koyak, persetubuhan dua sejoli tanpa ikatan suci pernikahan. Dan kita tahu, tragedi masih berlanjut, si Fulan yang berjanji menikahinya itu mangkir. la meninggalkan Shafa beberapa minggu setelah diwisuda, memilih gadis lain untuk dinikahinya. Saat itu, kata Reika, Shafa tak mampu meneruskan ceritanya. Rongga udara di dadanya tersedot habis oleh derita. la menangis lagi hingga ia lirih berkata:
“Rei, hidupku sepertinya sudah selesai. lbadahku hancur. lmanku tercemar laknat. Aku malu, malu pada orang tuaku, malu pada Allah, malu sama kamu, malu kalau teman-teman organisasi tahu. Diriku kotor sekali, Rei. Aku ingin pergi saja meninggalkan dunia ini. Apakah Allah masih peduli kepadaku, Rei, hamba-Nya yang sekarang berkubang kotor dan hina dina ini?” Reika tedegun. Matanya berair seraya berkata: ” Istighfar, Fa. Istighfar…. “
Demikianlah, apa yang dianjurkan Reika kepada Shafa di dalam kisah tersebut– saya kira kita semua bersepakat– merupakan saran yang tepat: istighfar [menghiba ampunan].
Terlebih ada satu kemasygulan Shafa yang menunjukkan hasrat untuk kembali kepada-Nya: ‘Apakah Allah masih peduli kepadaku?’. Hmm. la memang ragu dan malu. Tapi itulah sebuah indikasi pertaubatan. Dan Shafa tidak sendiri. Reika, saya, pun Anda dan saudara semuslim lainnya, pernah tergelincir dalam pelbagai bentuk dosa, dan kemudian kita ingin bertaubat, hendak kembali mengais rahmat- Nya. Bukankah sejarah manusia adalah hikayat dosa, riwayat khilaf dan segenap remuk redam nista di manapun dan kapanpun. Bahkan mahluk pilihan Allah yang disebut nabi sekalipun pernah mencecapnya seperti kisah nabi Adam dan Hawa yang memakan buah khuldi.
Kelak, sebagaimana dilansir Qur’an dan hadits, Adam dan Hawa mendapatkan ampunan Allah dan bersiap menghuni surga kembali. Sebuah hadits riwayat Hasan bin Yahya, misalnya, menyebutkan: Karena Adam menghiba ampunan Allah, maka Allah akan memasukkanya kembali ke dalam surga. Sementara iblis, penggodanya, yang emoh bertaubat malah meminta tenggat waktu untuk terus menggoda anak cucu Adam. Dan Allah pun mengabulkan permohonan keduanya.
Maka kita mafhum, bukti keberhasilan iblis itulah yang kita bisa lihat dalam kasus Shafa dan sejumlah anak manusia yang terjerembab nista di zaman kini. Namun, karena rahmat Allah tak terpermanai luasnya, meski sebesar apapun dosa sang hamba, niscaya Dia akan menyemai ampunan-Nya. “Dan barangsiapa yang yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa :1.10).
Kendati demikian, seberapa khidmatkah kita menukil kata istighfar untdk dilapalkan dan tafakuri di setiap ibadah kita? Apakah setiap kidung doa dan zikir istighfar yang membasahi lidah kita benar-benar punya efek jera; sungguh-sungguh menaklukkan seorang hamba untuk tidak jatuh ke jelaga kelam yang sama? Semua jawabanya ada pada kalbu Anda.
MusMagz-Muaz
- Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
- Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.