Sahabat Yatim

Pola Asuh Anak Dalam Keluarga

Setiap orang tua pastinya menginginkan yang terbaik untuk anak – anaknya. Dan setiap orang memiliki prioritas dan persepsi berbeda mengenai apa yang terbaik untuk sang anak. Tak heran perbincangan seputar pendidikan dan pola asuh anak dalam keluarga acapkali berujung pada perdebatan. Padahal, pada prinsipnya semuanya benar.

Pendidikan dan pola asuh anak dalam keluarga , terutama pada golden ages (usia batita dan balita) sangat bergantung pada banyak hal. Di antaranya bersama siapa anak tinggal, siapa yang mengasuhnya –ibu, pengasuh, atau neneknya, dan tentunya bagaimana latar belakang pendidikan serta ekonomi keluarganya.

Tempat Tinggal

Anak-anak yang tinggal hanya bersama keluarga kecilnya akan berbeda dengan anak-anak yang tinggal bersama keluarga besarnya. Mereka yang tinggal hanya dengan keluarga kecilnya, terutama yang lebih sering ditinggal berdua saja dengan pengasuh, akan cenderung pendiam karena sedikit orang yang mengajaknya berbicara.

Kemampuannya bersosialisasi pun akan berbeda dengan yang terbiasa tinggal dengan banyak orang. Untuk itu, salah satu solusinya ialah orang tua harus lebih rinci memberi tugas kepada si pengasuh. Termasuk apa-apa saja yang sebaiknya tidak dilakukannya di depan si kecil. Dan juga lebih banyak mengajaknya berbicara saat sedang bersama dengannya.

Sedangkan mereka yang masih tinggal bersama dengan kakek-nenek dan paman-bibinya, akan dengan lebih cepat bertambah perbendaharaan kata. Hal ini karena lebih banyak yang mengajaknya berbicara atau beraktivitas di depan mereka.

Akan tetapi orang tua harus tetap waspada apakah perbendaharaan kata tersebut baik atau tidak. Seluruh isi rumah juga harus sepakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan si kecil. Ingat, di usia ini otaknya menyerap informasi semudah spons menyerap air.

Modern vs Moderat

Ilmu psikologi dan kesehatan yang berkembang begitu pesat membuat semakin besarnya gap antara pola asuh anak dalam keluarga di masa lalu dan di masa sekarang. Seperti adanya ASI eksklusif hingga umur 6 bulan, adanya pendidikan untuk anak usia dini (PAUD), dan lain sebagainya.

Maka tak heran apabila dalam membesarkan buah hati, ibu dan nenek sering berselisih paham. Untuk meminimalisasi terjadinya konflik, sebaiknya ibu mendengarkan dulu apakah yang disarankan sang nenek baik dan aman untuk si kecil atau tidak. Jika ya, maka tidak ada salahnya diikuti.

Pola Asuh

Latar Belakang Pendidikan dan Ekonomi Orangtua

Setiap orang tua tentunya berharap masa depan anaknya lebih baik dari dirinya saat ini. Orang tua dengan latar belakang pendidikan tinggi tentunya memiliki ekspektasi yang lebih dibanding orang tua dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Demikian pula orang tua dengan kondisi ekonomi baik akan lebih mampu memfasilitasi anak dengan berbagai perangkat dan alat bantu ajar yang sesuai.

Maka dari itu, sebagai orang tua hendaknya kita lebih membuka pikiran dan memperkaya diri dalam berbagai pola asuh anak dalam keluarga Tujuannya agar buah hati kita tidak tertinggal dengan mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Metode dan alat bantu ajar yang baik tidak selamanya dan tidak harus mahal.

Hati-Hati Pola Asuh Anak yang Salah

Menerapkan pola asuh anak dalam keluarga bukanlah perkara yang mudah, namun bukan pula kesulitan yang berarti. Asalkan Anda sebagai orang tua bisa menerapkan pola asuh anak dalam keluarga yang benar dan sesuai dengan porsinya, anak Anda akan jauh dari perilaku yang menyimpang. Berikut ini ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan dalam hal pola asuh anak.

1. Memaksakan Kewajiban Tanpa Memberi Pemahaman

Haruskah seorang anak selalu mengetahui mengapa ia harus mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas yang diembankan kepadanya? Dalam situasi yang mendesak, kita diperbolehkan menuntut anak-anak kita untuk melaksanakan perintah, tanpa harus memberikan penjelasan terlebih dahulu pentingnya perintah-perintah itu dilakukan oleh mereka.

Akan tetapi, dalam banyak kesempatan, kita harus menjelaskan alasan-alasan itu dengan tenang, bijak, dan penuh penghargaan, jika kita menginginkan mereka menuruti perintah kita. Dalam hal ini, kita bisa mengambil pelajaran dari contoh berikut.

Abdullah meminta ayahnya memakai mobil keluarga untuk melakukan rekreasi yang akan dilaksanakan pada Kamis sore. Ayahnya menolak dengan mengatakan “Tidak!” tanpa menjelaskan alasannya sama sekali. Abdullah merasa tidak suka dengan sikap kaku tersebut. Perasaan tidak suka itu pun akhirnya muncul dalam bentuk reaksi menolak mebantu ayahnya mengurusi taman rumah.

Sebetulnya, ayah Abdullah bisa mengatakan, “Ayah dan ibu telah mengatur rekreasi yang akan kita lakukan pada Kamis sore. Kita memang membutuhkan mobil untuk acara itu. Namun, karena bensin sekarang mahal, untuk sementara waktu kita tidak menggunakannya dahulu, kecuali untuk acara-acara tertentu.” Dengan kalimat itu boleh jadi Abdullah akan memahami sikap ayahnya dengan lapang dada.

2. Menyikapi Perilaku Anak Hanya dengan Satu Pola

Menerapkan hanya satu pola pendidikan dalam menyikapi perilaku anak, padahal ia sudah melakukan perubahan, adalah sangat merusak. Satu pola pendidikan yang dimaksud adalah seperti orangtua yang sellau melontarkan kata-kata keras, padahal perilaku si anak sudah berubah menjadi baik.

Mungkin juga sebaliknya, orang tua selalu memuji dan menyanjung anaknya, padahal anak itu tengah melakukan keburukan, semisal menyakiti temannya atau saudaranya. Jika seorang anak mendapatkan perlakuan dengan pola kasih sayang secara berlebihan, ia akan tumbuh sebagai orang yang tidak memiliki kepedulian.

Ia tidak akan mau berusaha untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kesalahannya karena apa pun yang ia lakukan selalu mendapatkan simpati dan sanjungan. Namun, apabila seorang anak hanya mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya, padahal ia sudah berusaha untuk lebih baik, ia akan berputus asa dari perubahan.

Sikap itu akan merangsangnya untuk mengurungkan diri dari mengubah sikap dan bersikeras dalam kesalahan, selama ia tidak pernah mendapatkan penghargaan dan dorongan atas segala upaya baiknya untuk memperbaiki diri.

3. Enggan Menerapkan Disiplin

Anak membutuhkan disiplin sebagaimana ia membutuhkan kasih sayang. Yang kita maksud dengan menerapkan disiplin adalah mengejarkan anak agar mampu mengendalikan diri dan berperilaku baik. Anak membutuhkan keduanya. Jika mendapatkan disiplin dan kasih sayang, ia belajar menghormati diri sendiri dan sekaligus mengendalikannya.

Kita mengajarkan disiplin kepada anak – anak kita karna kita mencintaii mereka. Kita juga menginginkan agar mereka memiliki rasa tanggung jawab serta memiliki kemampuan yang mumpuni saat mereka dewasa.

Namun, sebagian orang tua tak berusaha menerapkan disiplin kepada anak – anaknya dan ragu – ragu dalam mengambil sikap terhadapnya. Para orang tua tidak dapat berharap bahwa mereka akan mengubah perilaku anaknya kecuali jika ada motivasi pada diri anak untuk melakukannya. Ada beberapa kemungkinan penyebab orang tua enggan menerapkan disiplin oada anak, antara lain sebagai berikut:

– Orang tua berputus asa dan kehilangan harapan dalam mengubah perilaku anak.

Orang tua tak mampu menentang keburukan anak karna mereka takut akan  kehilangan cinta. Ia takut mendengar kalimat-kalimat seperti ini dari anaknya, “ Aku membencimu ”, “ Kamu ayah yang menakutkan ”, “ Aku ingin punya ibu baru selain kamu ”, dan sebagainya.

Lemahnya tekad, vitalitas dan kemampuan oarng tua yang diakibatkan oleh suatu penyakit membuat mereka jauh dari situasi dan kehidupan anak-anak. Mereka juga tidak kuasa menghalangi perbuatan sia-sia mereka.

Orang tua menahan diri dari melakukan counter terhadap keburukan anak karena si anak suka marah dan bersifat reaktif.

Terjadi ketidakkompakan antara ayah dan ibu tentang tujuan pendidikan. Satu sama lain sering saling membantah tentang cara melakukan pengarahan kepada anaknya.

Orang tua sibuk dengan masalah suami istri sehingga melupakan pengawasan perilaku anak.

– Selalu Menerima Syarat yang Diajukan oleh Anak

Menerima syarat yang diajukan oleh anak agar ia dapat imbalan atas segala sesuatu yang memang harus dilakukannya atau ditinggalkannya merupakan cara yang keliru. Cara tersebut akan membuat si anak tidak mau melakukan kewajibannya atau meninggalkan hal-hal buruk kecuali jika ia memperoleh imbalan.

Orang tua harus menghentikan pemberian imbalan, baik material maupun nonmaterial jika imbalan tersebut telah berubah menjadi syarat untuk menunaikan kewajiban atau untuk meninggalkan hal-hal yang terlarang.

Meskipun demikian, tidak ada salahnya jika kita memberikan motivasi berupa imbalan kepada anak. Namu, motivasi itu harus diberikan setelah anak menunaikan kewajibannya dan konteksnya tidak lagi berupa persyaratan.

Hal penting pola asuh anak dalam keluarga ini adalah memisahkan secara tegas antara menunaikan satu tugas dengan pemberlakuan syarat, apa pun bentuknya. Tidaklah logis apabila kita menerima persyaratan yang diajukan anak, dengan cara memberinya uang “suap” sebagai imbalan bila ia minum susu.

Tidak logis serta tidak bisa diterima pula bila seorang anak baru mau berhenti memainkan pesawat telefon milik neneknya bila ia sudah mendapatkan sejumlah uang.

 

Exit mobile version