Site icon Sahabat Yatim

Perusahaan Konglomerasi Di Indonesia Bakrie

Kisah Pengusaha

Perusahaan Konglomerasi Di Indonesia Bakrie – Begitu banyaknya perusahaan di bawah Grup Bakrie mungkin juga yang menjadi modal bagi Ical untuk sanggup mengajukan diri menjadi Calon Presiden lewat Partai Golkar. Ada tujuh sektor di bawah naungan Bakrie & Brothers , yaitu batu bara, perkebunan, minyak dan gas, telekomunikasi, properti, logam, dan infrastruktur.

Kendati sudah kaya dan termasuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia, perusahaan-perusahaan Bakrie kerap kali bermasalah. Misalnya, isu pengemplangan pajak yang sempat didesuskan oleh Gayus, namun entah kenapa Gayus mendadak bungkam membisu mengenai hal tersebut. Kemudian, ada juga isu tentang Lumpur LAPINDO yang menenggelamkan rumah-rumah penduduk di Sidoarjo, hingga dana nasabah yang nyangkut di Bakrie Life dan pesangon karyawan yang dibayar menggunakan surat utang.

Apakah sebenarnya yang terjadi pada Bakrie Group sampai tidak mau menalangi dana untuk Bakrie Life ?

Mari kita intip beberapa perusahaan B akrie & Brothers yang sudah berhasil mengeruk keuntungan cukup tinggi. Eitss, tapi jangan salah lho, bahkan perusahaan-perusahaan yang profitable tersebut pun sempat tersandung isu penunggakan pajak. Waduhh, gimana kalau Beliau jadi presiden yaa.

Perusahaan yang berada di dalam sektor pertambangan batu bara adalah PT. Bumi Resources Tbk (Bumi) yang terdaftar dalam bursa sejak tahun 1990. Pada tahun 2000, Bumi mengakuisisi Gallo Oil Ltd, menyusul pengakuisisian Arutmin Indonesia pada tahun 2001 dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada tahun 2003.

Gabungan antara KPC dan Arutmin memiliki 34% market share dari ekspor batu bara Indonesia pada tahun 2007. Pertambangan KPC adalah tambang ekspor batu bara terbesar kedua di dunia. Bumi berencana untuk melakukan diversifikasi portofolio bisnisnya dengan ekspansi ke pertambangan tembaga, emas, bijih besi, dan lapisan batu bara metana.

Di sektor perkebunan, ada PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk.

Pada tahun 1986, PT Bakrie & Brothers mengakuisisi kepemilikan NV Hollandsch Amerikaanse Plantage Maatschapij yang berdiri pada tahun 1911.

Ia mengubah nama perusahaan tersebut menjadi Uniroyal Sumatra Plantation. Perusahaan tersebut terdaftar di bursa pada Maret 1990 dan nama perusahaan pun diubah kembali pada tahun 1992 menjadi PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (BSP). Sejak tahun 1990, perusahaan tersebut mulai ekspansi ke bisnis kelapa sawit. Pada akhir 2008, BSP mengelola sekitar 90.643 hektar perkebunan sawit dan 18.827 hektar perkebunan karet.

Sektor minyak dan gas pun tak luput dari bisnis konglomerasinya. Melalui PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG), ia memiliki dan mengoperasikan aset minyak dan gas di sepanjang kepulauan Indonesia. Pada tahun 2004, ENRG secara tidak langsung mengakuisisi Kangean PSC, dan dua tahun kemudian ENRG mengakuisisi PT. Tunas Harapan Perkasa yang terdiri dari lima aset pengoperasian minyak dan gas.

Pada tahun 2007, ENRG membentuk aliansi strategis untuk bekerja sama dalam aset pengekplorasian gas (Suci KSO) dengan PT Indelberg Indonesia Perkasa dan Pertamina. Demi terbebas dari tanggung jawab terhadap semburan lumpur Lapindo, maka pada Maret 2008 ENRG mendilusikan sahamnya dalam Lapindo Brantas Inc dari 100% menjadi hanya 0,01%.

Diversifikasi bisnisnya pun meluas hingga ke ranah Telekomunikasi.

Perusahaan di sektor tersebut adalah PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) dan PT Bakrie Connectivity BTEL merupakan provider jaringan telekomunikasi dengan lisensi FWA yang meluncurkan produk Esia, EsiaTel, Wifone dan Wimode. Sebelumnya, perusahaan tersebut adalah PT Radio Telepon Indonesia (Ratelindo) yang berdiri pada tahun 1993. Bakrie Conectivity merupakan bagian dari BTEL yang berfungsi untuk memasarkan layanan data dengan produk AHA.

Di sektor Industri, pada tahun 2008 didirikanlah PT. Bakrie Metal Industries (BMI) untuk mengelola seluruh produk logam dan bisnis konstruksi berat. Klien dari perusahaan tersebut, antara lain Amtrade International, Caltex, ConocoPhillips, Gulf Resources, Jasa Marga, Pertamina, dan Perusahaan Gas Negara.

Di tahun yang sama, didirikanlah juga PT. Bakrie Indo Infrastructure (BIIN) yang menangani berbagai proyek infrastruktur, yaitu proyek konstruksi jalan tol, pembangkit listrik, infrastruktur, minyak dan gas, serta telekomunikasi. Beberapa proyek BIIN antara lain adalah jalan tol Cimanggis – Cibitung dan PLTU Tanjung Jati. Bakrie – Gagal Bayar Bakrie Life

Di tengah gilang gemilangnya perusahaan-perusahaannya, para nasabah PT. Asuransi Jiwa Bakrie justru harus kecewa.

Karena tidak ada kepastian mengenai pembayaran dana pokok dari salah satu produk investasinya. Bakrie Life tersandung masalah gagal bayar produk asuransi berbasis investasi sejumlah Rp 360 milyar pada tahun 2008.

Lucunya hingga tahun 2012, ia masih belum melunasi para nasabahnya tersebut. Padahal, Bakrie Life pernah menjanjikan untuk mencicil dana pokok nasabah Diamond Investa sebesar 25% per tahun. Sisa dana pokok yang belum jelas statusnya adalah sebesar Rp 270 milyar.

Ternyata tidak hanya nasabah yang kecewa dengan Bakrie Life , karyawan mereka pun terpaksa gigit jari. Alih-alih mendapatkan pesangon karena mengalami pemutusan hubungan kerja, hingga saat ini pun pesangon mereka belum dibayarkan.

Seharusnya para karyawan tersebut dibayar tunai, namun malah sempat ada wacana untuk melakukan pembayaran dengan surat utang. Bahkan tindakan PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan pun tidak sesuai prosedur karena tidak ada bukti alasan yang jelas. Jumlah uang pesangon tersebut adalah sekitar Rp 3 milyar. Miris, mengingat biaya resepsi pernikahan salah satu anak Ical melebihi angka tersebut.

Ia juga tersenadung masalah lain, yaitu masalah tunggakan pajak.

Hal ini diduga dilakukan oleh tiga anak perusahaannya , yaitu PT. Arutmin Indonesia, PT. Bumi Resources Tbk, dan PT. Kaltim Prima Coal. Total tunggakan pajak tersebut adalah sebesar Rp 2,1 trilyun. Masing-masing tunggakan tersebut adalah Rp 300 milyar dari PT. Arutmin, PT. Bumi sebesar Rp 376 milyar dan KPC sebesar Rp 1,5 trilyun. Bakrie – Kepemilikan Lapindo Brantas

Seperti yang telah kita ketahui di atas, bahwa PT. Lapindo Brantas sempat dimiliki penuh oleh ENRG. Kepemilikan nya sejumlah 100% itu melalui dua anak perusahaannya, yaitu PT Kalila Energy Ltd sejumlah 84,24% dan Pan Asia Enterprise sejumlah 15.76%. Walau demikian, pada salah satu akun di Twitter yang seolah-olah bertindak sebagai martir pembela keadilan mengatakan bahwa Bakrie Grup hanya memiliki 50% saham kepemilikan dan sisanya dimiliki oleh Medco sejumlah 32% serta Santos 18%.

Informasi tersebut tidak dapat dipercaya, karena fakta yang sebenarnya adalah angka tersebut merupakan kepemilikan participating interest Blok Brantas. Berdasarkan persentase tersebut, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator karena kepemilikan 50% atas Blok Brantas.

Menurut laporan yang dipublikasikan oleh jurnal Marine and Petroleum Geology, asal muasal menyemburnya lumpur di Blok Brantas tersebut terkait dengan pengeboran di sumur eksplorasi gas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Tim ilmuwan asing yang dipimpin oleh pakar dari Universitas Durham di Inggris mengemukakan bahwa ada bukti baru yang menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tersebut akibat dari kesalahan manusia.

Ketika para pengebor gagal menemukan gas, alat bor ditarik keluar pada kondisi lubang sangat tidak stabil sehingga lubang sumur tersebut bagaikan mendapat “tendangan” dari tekanan air dan gas dari batu-batuan yang tersusun di sekitarnya. Akibatnya adalah terjadinya semburan lumpur yang tak kunjung habis.

Hal ini jelas bertolak belakang dengan pembelaan PT.

Lapindo Brantas yang berkelit bahwa lumpur tersebut disebabkan oleh gempa bumi di Yogyakarta yang selisih dua hari sebelum musibah lumpur ini. Sayangnya justru pembelaan tersebut meraih kemenangan. Mahkamah Agung, pengadilan Jakarta Pusat dan pengadilan Jakarta Selatan memberikan putusan bahwa Lapindo tidak bersalah dan menyatakan hal tersebut adalah bencana alam, sehingga negara harus mengeluarkan dana dari APBN demi penanggulangan masalah tersebut.

Miris, sementara alokasi subsidi bahan bakar justru dikurangi, malah alokasi penanganan efek semburan lumpur Lapindo dinaikkan. Tak dapat terbayangkan jika Bakrie jadi Presiden Kemungkinan seluruh aset negara bisa dengan mudahnya dijadikan sarana untuk mengatasi semua permasalahan perusahaannya.

Itulah pembahasan tentang Perusahaan Konglomerasi Di Indonesia Bakrie, semoga membantu!

 

Exit mobile version