Etika komunikasi bisnis di era global saat ini menjadi sorotan, apakah masih menjunjung etika atau tidak. Hal ini merupakan sebuah pengetahuan populer yang perlu kita ketahui. Hal itu guna mendapatkan gambaran yang jelas apakah era globalisasi masih mementingkan etika ataukah malah tidak memerlukan etika.
Globalisasi kini melanda dunia dan diasumsikan sedang menyeragamkan budaya-budaya yang ada. Namun, masalahnya ternyata tidak sesederhana itu. Seperti yang dikemukakan Tommy F. Awuy (1997), negara-negara yang terlibat dalam globalisasi ternyata tidak serta merta menganut ideologi tunggal, tapi justru muncul kesadaran baru berupa “pencarian kembali akan nilai-nilai etnisitas regional.”
Sebagian besar budaya, budaya Jepang dan budaya Arab misalnya, ternyata tetap kukuh dan masih menampilkan ciri-ciri tradisionalnya. Bangsa Prancis saja berusaha keras untuk tidak terjajah oleh budaya Amerika.
Ini ditunjukkan misalnya dengan memberlakukan peraturan agar restoran-restoran yang menyuguhkan makanan asing tetap menggunakan nama berbasis Prancis. Hal serupa juga terjadi di Jepang yang tetap menggunakan tulisan-tulisan kanji. Meskipun apa yang ditulis itu berbau atau dipengaruhi bahasa Inggris.
Manusia memang mempunyai banyak identitas yang berkaitan dengan latar belakang etnik dan agama mereka, baik disadari ataupun tidak. Oleh karena itu, perbedaan budaya dan agama tampaknya akan merupakan suatu fenomena yang langgeng, yang juga menjelma dalam tata cara berbisnis.
Budaya dan Etika Komunikasi
Poin utama dari kegagalan komunikasi bisnis di era global yaitu kesulitan saat harus memahami etika dan cara berkomunikasi akibat ekspektasi dari budaya tiap pengusaha yang berbeda.
Perilaku manusia memang tidak bersifat acak. Semakin mengenal budaya milik orang lain, maka semakin ahli lah Anda dalam memperkirakan ekspektasi yang dimiliki seseorang untuk kemudian memenuhinya.
Budaya dengan komunikasi adalah dua hal yang mempunyai hubungan erat. Satu sama lain saling memengaruhi. Hal ini diakui oleh para ilmuwan di bidang sosial. Budaya dan komunikasi sebagaimana dua bagian dari uang koin. Pada satu waktu, budaya merupakan bagian dari kegiatan berkomunikasi. Sedangkan waktu lainnya, komunikasi memegang peranan sebagai penentu, pemelihara, pengembangan, dan proses pewarisan budaya.
Benar kata Edwrad T. Hall (1973) bahwa, “Budaya adalah komunikasi” dan “Komunikasi adalah budaya” Budaya menentukan cara kita berkomunikasi.
Etika memang tidak datang dari ruang hampa, melainkan melalui evolusi masyarakat yang bersangkutan dalam mengembangkan realitas sosialnya. Dengan kata lain etika terikat budaya, berkembang secara inheren dalam budaya, tepatnya dalam filsafat atau pandangan hidup suatu masyarakat.
“Individu-individu mengembangkan dan menetapkan etika melalui apa yang Schuzt sebut typications yang berasal dari stock of preconstituted knowledge mereka untuk menandai individu-individu, motif-motif, tujuan-tujuan dan pola-pola tindakan.” (1971: 29).
“Dengan demikian, etika suatu masyarakat tentang komunikasi, bersifat relatif, artinya hanya berlaku untuk masyarakat tersebut dan tidak mengikat masyarakat-masyarakat lainnya.
Kerumitan Etika dalam Bahasa Verbal
Orang Jepang tidak menyukai cara orang Amerika yang sering berargumen, sedangkan orang Amerika sulit mengerti kenapa orang jepang banyak yang pendiam. Di Amerika, Anda bisa langsung memanggil nama pertama kepada mitra bisnis Anda yang baru, tapi jangan coba melakukan itu di Jerman atau Italia.
Di Jerman dan Italia, nama panggilan untuk gelar khususnya, biasa dipanggil “Tuan Pengacara”, “Tuan Profesor”, atau sekadar “Herr Schneider” di Jerman dan“Senor baggio”, di Italia. Juga di Cina, mereka yang punya jabatan tinggi dipanggil berdasarkan jabatan mereka, misalnya “Presiden” atau “Manajer”.
Dalam konteks usaha, di Amerika penjual normal berbicara langsung ke tujuan saat mendekati pelanggan, namun dalam negosiasi, eksekutifnya mengurangi basa-basi dan protokol. Dengan fakta-fakta statistik mereka langsung berbicara untuk memperoleh keuntungan timbal-balik. Mereka senang mendebat. Negosiasi dan penjualan yang dilakukan melalui telepon pun, tanpa memberikan kesempatan kepada para pelakunya untuk bertemu muka merupakan praktik bisnis yang lazim.
Sebaliknya, di Amerika Tengah, seorang penjual harus bertemu dulu dengan orang yang menjadi calon pembelinya beberapa kali sebelum ia dapat merundingkan bisnis dengannya. Berbeda dengan pebisnis Amerika yang bisa langsung menawarkan barang pada calon pembeli dan berlalu dengan membawa surat pesanan.
Pentingnya Pemahaman Bahasa Dengan Mitra Bisnis
Banyak kegagalan manajemen dan bisnis yang dialami para manajer atau pengusaha. Hal itu disebabkan ketidakmampuan untuk memahami bahasa verbal, bahasa nonverbal dan nilai-nilaio yang dianut mitra bisnis mereka.
Pebisnis Amerika misalnya, seringkali menggunakan atau lebih tepatnya memaksakan “cara” Amerika dalam berbisnis dengan orang kita. Mereka terlalu berorientasi keuntungan, menganggap remeh logika dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Dan tentu saja akhirnya kemacetan dan kegagalan yang lebih banyak dituai para pebisnis asing tersebut.
Dalam konteks usaha orang Amerika berpandangan pebisnis Jepang tidak etis jika mereka mendadak membatalkan kontrak bisnis.
Sebaliknya bagi pebisnis Jepang, justru pebisnis Amerika yang tidak etis bila mereka berkeras agar kontrak ditepati padahal segala sesuatunya telah berubah. Dalam konteks komunikasi bisnis antarbudaya misalnya, seorang pebisnis yang menganut etika tertentu dapat terkena gegar budaya bila ia bersikeras menganut dan ingin menerapkan etika tersebut ketika berbisnis dengan orang asing yang menganut etika lain.
Kerumitan Etika dalam Bahasa Nonverbal
Mengenai konsep waktu misalnya, masyarakat Amerika Latin, yang mewarisi budaya nenek moyang mereka. Kemudian bangsa Spanyol, seperti juga orang Yunani, tidak menjadwalkan waktu khusus untuk bertemu dengan seseorang seraya meniadakan perjanjian-perjanjian dengan orang lainnya.
Oleh karena itu, jadwal perundingan pun bisa mundur tanpa kita ketahui secara pasti kapan akan berakhir. Konsep waktu serupa juga berlaku di Portugal.
Sementara itu, di Amerika Latin, kita juga tidak perlu heran, kesal atau kaget bila harus menunggu berjam-jam untuk bertemu dengan seorang mitra bisnis yang baru. Menunggu 45 menit tidak luar biasa, ibaratnya sama saja dengan menunggu 5 menit di Amerika. Hal ini cuman masalah perbedaan dari konsep waktu saja.
Karena itu, dalam era bisnis abad ke-21, para pebisnis tetap merasa perlu untuk bertemu dan berunding secara tatap muka. Meskipun mereka juga menggunakan peralatan komunikasi yang canggih.
Dalam konteks inilah seperti yang dikemukakan oleh Richard Lewis (1996), manajer abad ke-21 yang sukses adalah mereka yang peka secara budaya. Dalam perundingan bisnis, usaha patungan, atau sekadar dialog dengan orang dari budaya lain, manajer abad ke-21 akan memperoleh keuntungan yang besar.
Demikianlah pembahasan mengenai pengetahuan populer dalam etika komunikasi bisnis yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat.