Kurang-lebih ada 400 rumah di Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Serang, Banten, yang masuk kategori tidak layak huni. Penyebaran rumah dengan bangunan dari bambu atau bilik dan sanitasi buruk tersebar di hampir seluruh desa.
Menurut Mustadi, Kasi Kesejahteraan Sosial Kecamatan Gunungsari, berdasarkan data draf Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) Dinas Tata Ruang dan Perumahan pada 2016, total ada 444 rumah yang masuk kategori tidak layak huni. Dari total tujuh desa, di Ciherang ada 111 rumah, Curug 33, Gunungsari 68, Kadu Agung 80, Luwuk 72, Sukalaba 7, dan Tamiang 63 rumah.
“Totalnya 444, itu waktu 2016 kemarin. Memang waktu pembinaan ini, nanti dipadukan dengan (data) Dinas Sosial,” kata Mustadi saat berbincang dengan detikcom di kantor Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Serang, Selasa (4/7/2017).
Hal serupa disampaikan Kiki Rizqullah dari Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) sebagai kepanjangan dari Dinas Sosial. Dia menjelaskan, pada 2015 saja, di daerah Gunungsari ada sekitar 500 rumah yang masuk kategori tidak layak huni. Standar yang digunakan untuk memasukkan rumah jenis itu, menurutnya, adalah rumah yang dibangun dari bahan bambu atau disebut sebagai rumah bilik.
Dia memperkirakan, karena sepanjang 2015-2016 sudah ada beberapa rumah yang dibangun, pada tahun ini ada 400-an yang masih masuk kategori tidak layak huni.
“Versi kita rumah tidak layak huni (adalah) rumah bilik. Perkiraan sekitar 400-an kurang-lebih yang masih tersisa. Ada yang tanahnya bukan milik sendiri saking nggak mampunya untuk rumah tinggal,” ujar Kiki di tempat yang sama.
Menurutnya, rata-rata warga yang tinggal di rumah tidak layak itu berprofesi sebagai buruh tani. Mereka termasuk kategori keluarga miskin yang tidak mampu membangun rumah sendiri.
Rela Mandi dari Air Hujan
Salah satu desa yang paling banyak terdapat rumah tidak layak huni adalah Kadu Agung. Di desa ini, ada 80-an rumah tidak layak huni dengan sanitasi buruk. Rata-rata rumah jenis ini dihuni janda atau keluarga tidak mampu yang bekerja sebagai buruh tani.
Di rumah Ibu Rusni di Panangkalan, misalnya, dia dengan suaminya tinggal di rumah berukuran 4×6 meter dengan bangunan dari bambu. Di rumah tersebut bahkan tidak ada sumur dan hanya ada dua ruangan. Bagian depan digunakan untuk tempat tidur dan dapur. Untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi-cuci-kakus, Rusni biasanya menumpang ke tetangga sekitar. Jika air tidak tersedia, keluarga ini bahkan mengumpulkan air hujan untuk mandi.
“Bantuan nggak pernah ada. Sudah beberapa kali minta, sampai sekarang belum ada buktinya,” katanya saat ditemui di rumahnya.
Rusni mengatakan, karena tidak mampu, suaminya terpaksa menjadi peminta-minta di pasar. Demi menghidupi kebutuhan, sang suami biasanya berangkat sekitar pukul 06.00 WIB pagi dan kembali pada sore hari.
Di Kampung Kadu Koneng, Ibu Rati, yang sudah menjanda, juga bercerita soal kesusahan yang sama. Ia bahkan tinggal sendirian karena anaknya menempati rumah di daerah lain. Untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya mandi atau urusan dapur, ia mengandalkan uluran tangan dari tetangga-tetangga atau saudara yang tinggal di sekitarnya.
“Beurang peuting juga sendirian aja (siang malam sendiri saja). Nggak punya sumur, mandi ka aimah (rumah) kaponakan aja. Kalau masak-masak di pawon dina tungku bae teu boga nanaon geh (kalau masak di tungku di dapur meskipun nggak punya apa-apa),” katanya.
Atas permasalahan tersebut, Kepala Desa Kadu Agung Saepudin Jumri mengatakan sebetulnya ia sudah meminta bantuan kepada dinas terkait. Upaya bantuan terkait dengan banyaknya rumah tidak layak huni di desanya sudah disampaikan sejak 2015 sampai 2016. Namun sampai saat ini belum juga ada bantuan yang sampai.
“Usulan saya sudah mengusulkan, dari tahun 2015-2016 belum ada. Alasannya belum dapat aja, belum kebagian aja,” tuturnya saat dimintai konfirmasi secara terpisah.
Sumber: Detik.com
- Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
- Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.