Jejak Air di Tlatah Banten Lama Tengah hari meruapkan udara panas nan terik di atas reruntuhan Istana Surosowan. Meski langit berwarna biru indah, diimbuhi awan-awan kapas berarak-sebuah deskripsi apik tentang cotton candy di keluasan cakrawala-tetap saja rasa gerah mendera tubuh dan sinar surya menyiram garang hingga ke ubun-ubun.
Jejak Air di Tlatah Banten Lama
Beruntung penuturan Obay Sobari menjadi sebuah medium penyejuk. Bak menjumpai oase di tengah ladang tandus. Ia seorang lelaki yang mendedikasikan hidupnya sebagai kurator Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama serta pemandu lokal. Pria yang kerap mengikuti berbagai aktivitas ekskavasi ini mengungkap, ketika Keraton Surosowan atau Kedaton Pakuwan masih berdiri, sudah dikenal sistem pendingin ruangan. Caranya, bagian bawah ruang-ruang dialiri air lalu ditutup kayu. Sistem ini tak ubahnya sebuah air conditioning natural. Obay juga menunjukkan temuan adanya lorong tebal yang menjorok hingga tengah benteng. Berfungsi untuk membersihkan kanal. Caranya, didorong sebilah bambu panjang oleh petugas istana.
Berbincang tentang ait keberadaannya tercatat pentingdi bagi Keraton Surosowan (1556). Ditengarai bahwa penghuni istana banyak melakukan perjalanan ke sekeliling Banten Lama menggunakan alat transportasi melalui kanal. Hal ini dapat ditelusuri dari keberad aan pancaniti, yang ditemukan di seberang Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. ‘Ada sebentuk gapura yang terhubung pada tempat serupa serambi ruang tunggu,” jelas Obay mendeskripsikan rekonstruksi bangunan zaman dulu. “Di situlah, para pengguna jasa perahu menunggu giliran diantar ke luar keraton. Salah satunya menuju Istana Kaibon.
Di bawah sebatang pohon sawo di area Keraton Surosowan, Obay memperlihatkan bekas kanal. Diperkirakan, aliran yang melewati Banten Lamaberasal dari Kali Banten dan Kali Pamayangan. Lewat akses ini, Surosowan terhubun gke Kaibon. Kali Banten diperkirakan memiliki lebar 16 m, kedalaman rata-rata 3-4 m dan mengalir hingga Teluk Banten. Namun sejak kedatangan Belanda, tak jarang para penjajah ini membuat sudetan di kanal untuk mengalihkan alirannya.
Kadang bahkan diuruk untuk di dimatikan,” ungkap Mulangkara, penjaga Istana Kaibon. Ia memberikan contoh reruntuhan yang dijaganya selama ini.
Di samping Istana Kaibon menjadi kediaman Ratu Asyiah, ibunda Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809) terdapat
bekas parit selebar 12 m dan panjang mencapai 2 km. Bila dirunut, akses kanal mencapai Kali Banten (Cibanten), Teluk Banten serta Istana Surosowan. Karena diuruk. bentuk Akhirnya mirip empang atau kolam semata. Padahal aslinya adalah sebuah kanal. ‘Aksi ini bentuk politik isolasi agar komunikasi kerajaan dengan masyarakat di luar istana terhambat.
Di bawah terik matahari, kami sampai ke sebuah bangunan semacarr kolam di Tengah reruntuhan Kedaton Pakuwan yang luas keseluruhannya mencapai 3,8 ha. Tempat ini digunakan para putri keraton di keputren sebagai tempat berendam. Dinamai kolam segaran, dengan sebuah mata air kecil di dasar. “Saat pemugaran tahun 1985 dan kompleks istana dijadikan cagar budaya, kami menggunakan penyedot khusus untuk membersihkan kolam segaron,” kenang Obay “selain kolam berendam putri, juga terdapat padusanatau tempat pemandian para penghuni istana yang sampai sekarang masih didatangianggota masyarakat sebagai bagian dari ritus tertentu.
Untuk pemenuhan masla air dalam padusan, pengurus Keraton Surosowan menggunakan pasokan air bersih dari Tasik Ardi. Sebuah water reseryoir atau danau penampungan berlokasi sekitar 3 km dari kompleks istana. yang dihubungkanlewat pipa terakota dalam tanah, melewati petak-petak persawahan serta dua kali penyaringan pada bendungan atau dam bernama pengindelan abang dan pengindelan putih. “sampai di padusan, hasilnya adalah air bersih. Semua ditampung dalam sebuah kolam besar. lalu dialirkan ke parit-parit kecil dan berakhir di pancuran.’ jelas Obay. “untuk menjaga air tetapsejuk, atau tidak terkena paparan sinar matahari, bagian atas kolam ditutup balok kayu. Usaha penutupan itu juga dimaksudkan agar kolam penampungan tidak tercemar.”
Kolam penampungal alhir berpancuran ini dikenal sebagai pengindelan emas atau pancuran emas. Meski sebatas penanaman pernah mengecoh Jepang saat pendudukan mereka di Bumi Pertiwi kurun 1942-1945. Mereka mengira yang disebut di Istana Surosowan sebagai golden fountain adalah benar-benar mata pancuran dari emas. Padahal sejatinya berbahan perunggu,” imbuh pria berkulit cokelat matang sebagai konsekuensi kerap terpapar sinar matahari. ketika ekskavasi situs dan memandu tamu.Dari bekas-bekas pipa terakota yang ditemukan di bawah lahan persawahan dan terhubungke Istana Surosowan Tasik Ardi menjadi bukti adan jejak air bagi kehidupan kota Banten Lama. Kini, telaga ini berada bawah naungan Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai menurut UU Pasal 10 dan 12 milik Pemerintah Provinsi Banten, Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman. Pada bagian tengah danau, terdapat pulau artifisial dari tanah padat diperkuat bata, dengan aksen beberapa tetumbuhan rimbun.
Pemanfaatan Tasik Ardi sckarang adalah sebagai objek wisata, dilengkapi penyewaan sepeda air, bangku pengunjung dan sarana peturasan. Jejak Air di Tlatah Banten Lama
ayooo berwisata ke banten di sana banyak peninggalan zaman dahulu….!!!!!
- Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
- Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.