Sahabat Yatim

Guru Tidak Profesional Vs Guru Profesional

Pekerjaan Guru Yang Sangat Mulia

Guru Tidak Profesional Vs Guru Profesional – Guru merupakan suatu pekerjaan yang profesinya sangat mulia. Tugasnya dalam mendidik dan mempersiapkan generasi penerus bangsa yang berkompeten baik dari segi akademis maupun perilaku, tidaklah mudah.

Sudah selayaknya apabila gelar pahlawan tanpa tanda jasa disandang oleh profesi yang satu ini.

Di balik gelar kemuliaan yang diperolehnya tersebut, tersimpan beban berat yang harus dipikul oleh seorang guru untuk membuktikan gelar tersebut memang benar-benar layak untuk didapatkannya.

Beban ini bertambah berat ketika oknum guru tidak profesional mencoreng nama besar profesi pendidik yang dengan penuh dedikasi menjalankan tugasnya.

Profesi Guru yang Memiliki Banyak Karakter

Guru Tidak Profesional

Karakter manusia sangatlah beraneka ragam, ada yang baik dan ada pula yang buruk. Begitu juga dengan profesi guru yang melibatkan berbagai macam karakter. Sebenarnya, yang diperlukan bukanlah kehomogenan karakter antara satu sama lain. Melainkan dedikasi dan tanggung jawab yang tinggi bagi penyandang profesi ini sehingga julukan guru tidak profesional tidak akan pernah menghinggapi profesi agung ini.

Bahkan, karena sangat sakralnya profesi ini. Orang Jawa membuat kepanjangan dari kata Guru yaitu “ digugu lan ditiru ”. Dua kalimat ini sungguh memiliki makna yang mendalam. Kata digugu berarti diperhatikan, lan artinya dan, serta ditiru artinya dicontoh.

Ini berarti bahwa sosok seorang guru tidak hanya diperhatikan saja tetapi juga ditiru setiap karakter dan tingkah lakunya.

Bisa dibayangkan apabila perilaku seorang guru tidak baik dan tidak profesional, tentu saja nanti murid-murid yang diajarnya menjadi ikut-ikutan menjadi pribadi yang dicontohkan oleh gurunya.

Guru yang Tidak Profesional

Penjatuhan vonis bahwa seorang guru tidak profesional pastilah berdasarkan titik tolok ukur tertentu tentang keprofesionalan serta alasan yang jelas yang dianggap menyalahi suatu kaidah keprofesionalan.

Berdasarkan pandangan umum, ketidakprofesionalan dapat dicerminkan melalui ketidaktepatan dan ketidakpatuhan terhadap aturan yang sudah ditentukan dan disepakati, misalnya saja seorang guru yang datang dalam proses kegiatan belajar mengajar tidak tepat waktu.

Ia tidak datang untuk melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa alasan yang jelas dan membiarkan terjadinya jam kosong di kelas yang diajar.

Ia juga berasal dari background pendidikan yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Selain itu, memberikan nilai kepada siswa tidak murni berdasarkan dari hal-hal yang menjadi aspek penilaian. Dan masih melibatkan ketidakobyektifan dalam menilai.

Seperti orang tua siswa A orang berpengaruh atau memiliki suatu jabatan yang tinggi maka penilaian yang diberikan bagus dan sebaliknya.

Sekali lagi, urusan belajar sudah tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan anaknya si A, B, dan C. Urusan belajar sebenarnya merupakan urusan pribadi milik siswa demi memperoleh dan memperluas ilmu pengetahuan.

Peran orang tua dalam urusan belajar hanyalah membantu, mendampingi dan mengontrol proses belajar tersebut.

Untuk urusan hasil belajar seorang siswa, hendaknya benar-benar murni dari ketetapan penilaian yang biasanya diperoleh dari tugas-tugas, ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.

Kode Etik Guru

Hal lain yang mengikat guru untuk tetap melakukan tugasnya secara profesional adalah kode etik guru yang menjadi hal sakral bagi setiap pendidik baik guru maupun dosen.

Kode etik ini sudah selayaknya sumpah setia seorang guru untuk mengabdi dan melakukan tugasnya sebagaimana mestinya tanpa ada penyelewengan yang dilakukan.

Penetapan kode etik guru merupakan pedoman dalam bersikap maupun berperilaku yang dituangkan dalam bentuk nilai-nilai moral serta etika seorang guru sebagai pendidik generasi penerus bangsa.

Beberapa tahun terakhir ini pemerintah telah menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat dikatakan bisa menjadi tolok ukur resmi dari keprofesionalan seorang guru.

Sekaligus sebagai pembatas hal-hal apa saja yang bisa dan membuat seorang guru dikatakan profesional. Salah satu aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 yang isinya menyatakan bahwa seorang guru dikatakan profesional apabila memiliki pendidikan akademik minimal S1 atau D IV serta telah lulus sertifikasi pendidikan.

Dampak dari kebijakan pemerintah menyangkut kesejahteraan penyandang profesi guru adalah mulai banyak diliriknya profesi ini oleh banyak pihak karena kelayakan dan kemakmuran hidup yang bisa dikatakan lumayan untuk yang sudah berhasil mendapatkan sertifikasi.

Tetapi jangan senang dulu. Tidak semua guru bergaji tinggi. Hal itu dapat dilihat dari jenis guru yang disandang, yaitu guru honorer atau guru PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Guru honorer

Guru honorer merupakan guru yang digaji dalam hitungan jam untuk setiap kali dia mengajar, tarifnyapun berbeda-beda tergantung sekolah tempat dia mengajar bahkan ada beberapa sekolah yang hanya memberikan gaji ala kadarnya saja. Terhadap guru honorer yang boleh dibilang nilai nominalnya jauh di bawah standar UMR (Upah Minimum Regional).

Bisa dibilang status menjadi guru honorer merupakan ‘pengangguran tersembunyi’ karena meskipun bekerja gaji yang diberikan amatlah kecil tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Guru PNS

Lain halnya dengan guru PNS ditambah yang telah lulus sertifikasi yang tergolong makmur karena gaji yang diperoleh mencukupi serta kesejahteraan hidup di hari tua yang terjamin melalui adanya dana pensiun.

Dalam praktiknya sehari-hari guru honorer tidak ada bedanya dengan guru PNS yang memakai seragam yang persis sama dan melakukan pekerjaan belajar mengajar di dalam kelas.

Sebenarnya hal ini menyalahi aturan, karena seharusnya yang bisa menggunakan seragam adalah pegawai pemerintah (guru PNS).

Tak jarang pula guru honorer yang telah mengabdi di suatu sekolah selama bertahun-tahun harus menelan pil pahit. Karena mendapatkan pengurangan jam yang tidak manusiawi akibat adanya kebijakan baru. Bahwa guru PNS harus mengajar selama 24 jam seminggu.

Begitu juga persiapan mental yang tinggi apabila posisinya diisi oleh guru PNS baru. Hasil rekruitmen pemerintah melalui tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), terutama di sekolah-sekolah negeri.

Dengan hadirnya guru PNS, otomatis keberadaan guru honorer tergusur begitu saja.

Profesionalisme

Sebenarnya masalah profesionalisme yang diberikan terhadap suatu profesi kembali pada diri individu masing-masing sesuai dengan kesadaran dan tanggungjawabnya.

Profesionalisme bukan hanya untuk profesi guru saja. Profesi apapun itu pasti memerlukan sikap profesional untuk memperoleh dan merasakan keoptimalan bekerja. Serta perasaan puas terhadap diri sendiri yang terkadang tidak bisa diukur dengan materi.

Hal ini berarti sikap profesional dapat diberikan guru honorer ataupun PNS tanpa ada embel-embel materi. Sosok guru di dalam film laskar pelangi mungkin dapat menjadi contoh. Bagaimana menjadi seorang guru yang tidak hanya mengejar materi. Meski dalam keadaan kurang tetap berusaha memberikan yaang paling optimal dan baik bagi siswa-siswinya. Perilaku seperti inilah yang dapat dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Demikianlah artikel tentang keprofesionalan seorang guru semoga bermanfaat dan membuka cara pandang kita terhadap profesi seorang guru. Perlu diketahui juga bahwa terkadang kita secara tidak langsung. Menjadi guru atau panutan dari orang lain baik anak, cucu maupun kerabat. Jadi hendaknya selalu menjaga perilaku dan tutur kata yang sesuai norma dan tata krama. Sehingga orang-orang yang membuat kita menjadi panutan mendapatkan contoh dan menirukan hal-hal yang baik.

 

Exit mobile version