Dari Kamar Kos ke Dapur Nosionalisme
Dari Kamar Kos ke Dapur Nosionalisme ketika bertemu novi dan airin di ruang kongres pemuda saya merasa parah tokoh yang hadir dalam foto-foto dokumentasi dan diorama dalam ukuran sebenarnya itu benar -benar “hidup” seakan ada benang merah yang terus terbentang antar generasai ketika saya sadari ini: sumpah pemuda 1928 yang diikrarkan di gedung ini diawali bincang bincang pelajar dan mahasiswa yang in de kost tinggal dan bayar sewa di rumah milik sie kong liong yang berdiri sejak 1908 ini.
Novia dan Airin adalah teman kos ketika kuliah di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Suatu kebetulan? Terlalu dihubung-hubungkan? Entahlah, sudahlah. Yang pasti, pertemuan dengan mereka membuat kunjungan saya kali ketiga ke Museum ini jadi lebih bermakna”Bukan sekadar memandang koleksi benda mati, mencermati info yang tertera dalam suasana sunyi, sementara spanduk Tahun Kunjungan. Saya menerobos ke lorong waktu. Di awal abad ke-20, Jalan Kramat Raya, lokasi rumah berlantai satu ini telah jadi jalur utama kawasan niaga. Tentu belum seriuh kini ketika deru Busway, Mikrolet, Metromini, Patas, PPD, sepeda motor, mobil’pribadi bersaing kencang. Dulu, ketipak kereta kuda dan deringbel
kereta angin (sepeda) mungkin sesayup mencapai ruangan dalam. Saat itu, teras rumah jauh lebih tinggi dari jalan, tak sejajar jalan lebar yang dilapisi aspal. Dari Kamar Kos ke Dapur Nosionalisme
Bak .adegan Titanic, dari muka rumah 550 m2 di lahan 1.284 m2 ini, saya disambut tegel flora penuh warna dan meja kursi kuno. Terperangkap kemeriahan ruang utama, 1908-1934, gedung ini disewa siswa sekolah dokter dan ahli hukum pribumi, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), dan Rechtshoogeschool (RIIS). Juga jadi arena rRain biliar, perkumpulan diskusi Jong Java, dan latihan kesenian Jawa hingga dijuluki Commensalen Huis atau Langen Siswo. Ruang utama yang kini dijaga dua patung Soegondo Djojopoespito dan Mohammad Yamin, ketua dan sekretaris Kongres Pemuda II/1928 ,tersaji info, foto panitia, peserta dan jalannya kongres. Semuanya tak lahir dalam sekejap. Saya pun mengalir ke kiri, ke Ruang Perhimpunan Organisasi, cikal bakal persatuan pemuda. Pelajaran sejarah di-SD pun tersegarkan.
Lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 oleh senior perintis Wahidin Soedirohoesodo, dr Soetomo, dr Tjipto Mangunkusumo, mengilhami pemuda Soekarno membentuk Tri Koro Dharmo (tiga tujuan suci, 1915) yang berkembang
jadi Jong Java, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes.(1918), Sekar Roekoen (1919), Jong Ambon (1923), Jong Bataks Bond (1925), Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPPI, 1926), dan Pemoeda Kaoem Betawi (1927). Saya amati foto para pelajar Hindia Belanda yang kuliah di Negeri Belanda macam Mohammad Hatta yang juga membentuk persatuan pelajar. Meski berbeda latar belakang dan dari tempat yang berjauhan, semangat mereka mengerucut: cita-cita Persatuan Indonesia, yang tercetus pada Kongres Pemuda I/1926 di Jalan Boedi ‘Oetomo I kini Gedung Kimia Farma.
Hari-hari diisi ‘belajar dan bekerja keras. dan debat politik. Tapi. pernak pernik P3K, seragam dasi, bendera INPO (organisasi Pandu nasional Indonesia) dan foto kelompok jazz, menunjukkan, masa muda pun diisi minat khusus. Pasca Kongres Pemuda I, sejak 1927, gedung ini jadi Indonesische Clubhuis (Clubgebouw), tuan rumah pertemuan organisasi penggerak paham kebangsaan. Novi dan Airin sesekali menengok telepon genggam atau Blackberry di sela membidikkan kamera ke koleksi, bahkan bergantial berfoto. Para pemuda tempo doeloe yang jejaknya sedang kami runut ini pasti perlu waktu lebih panjang dan cara lebih rumit untuk tetap terhubung menjaga semangat yang sama. Terbayang bagaimana mereka mengundang Bung Karno dan tokoh Algemeene Studie Club Bandung-lewat telepon engkol, surat atau telegram. Di sinilah pada 15 Agustus 1928, diputuskan digelar Kongres pemuda II pada Oktober. Selangkah maju dibanding hasil Kongres I, menepis perbedaan sempit kedaerahan demi persatuan bangsa Indonesia.
Kami melangkah ke teras belakang, yang pada 28 Oktober 1928 disesaki oleh 7o-an peserta Kongres Pemuda II. Sumpah Pemuda yang mempertegas tujuan menuju Indonesia bersatu yang merdeka itu dirumuskan di sini. Ada diorama meja
sidang dengan patung panitia Kongres dalam ukuran sebenarnya: ketua Soegondo Djojopuspito (PPPI), sekretaris Mohammad Yamin (Jong”Sumatranen Bond) dan wakil organisasi. Lamat-lamat, saya uji daya ingat tentang kalimat kalimat
M Yamin yang pernah saya hapal saat di SD itu. Pertama, “Kami Putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah.yang satu, tanah air Indonesia/Kedua kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indohesia /Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Inilah hasil tiga hari kongres yang membahas persatuan Indonesia mesti didukung sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan. Bahwa anak harus dididik demokratis di sekolah dan di rumah. Bahwa gerakan Kepanduan mendidik disiplin mandiri dalam perjuangan. Yang unik, tekad menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, dicetuskan dengan notulen berbahasa Belanda. Tapi M Yamin sang sastrawan yang menguasai Bahasa Indonesia berperan bila ada yang perlu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Ada lemari kaca penyimpan pernik penting. Di antaranya, tiruan biola Wage Rudolf Supratman untuk mengalunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang membanggakan itu. Biola asli, menurut Mbak Endang, pemandu museum, disimpan apik. Baru dikeluarkan bila ada jadwal pameran keliling, Juli – Agustus. Kemampuan diplomasi pun teruji. Indonesia Raya bukan dinyanyikan. Soegondo, ketua kongres, membisikkan WR Supratman untuk memperdengarkan Indonesia Raya hingga kata-kata “Indonesia Raya” dan “merdeka” tak jelas tertangkap polisi rahasia Hindia Belanda. Ini mencegah kongres dibubarkan atau peserta ditangkap. Benar-benar cerdik. Partitur dan teks Indonesia Raya terlukis besar di dinding di belakang diorama. Gedung yang sempat beralih jadi toko bunga (1937 1948), Hotel Hersia (1948 – 1951), dan Kantor Inpeksi Bea & Cukai (1951 1970) dikukuhkan jadi Museum Sumpah Pemuda sejak 1973. Dari Kamar Kos ke Dapur Nosionalisme
Museum ini menghargri peran pemuda sebagai rentang peristiwa yang tak pernah mati. Di pavilion belakang, ada ruang
Ampera 1966 dan Reformasi 1998. Saya, Novia dan Airin yang belum lahir kala dua peristiwa pertama, bisa menangkap dinamika berbangsa. Melangkah keluar gerbang Museum, sebagian trotoar jadi lahan usaha kendaraan bermotor dilintasi
pedagang keliling, pemulung dan pengemis. Museum ini menyatu dengan kegiatan dan nasib warga yang- diperjuangkan lebih dari 90 tahun silam.
terima kasih semoga bermanfaat ” Dari Kamar Kos ke Dapur Nosionalisme”…!!!!!!!
- Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
- Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.